ladangmas

2024-10-08 06:28:13  Source:ladangmas   

ladangmas,lini toto login,ladangmas

Daftar Isi
  • Kriminalisasi hingga pengusiran
  • HGU IKN perparah konflik agraria
  • 10 tahun RUU Masyarakat Adat mangkrak
  • Akar Masalah Pembebasan Lahan 2.086 Hektare di IKN
Jakarta, CNN Indonesia--

Hari Internasional Masyarakat Adat Sedunia yang jatuh pada 9 Agustus tahun ini menyimpan duka. Masyarakat adatdi kawasan pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN) di Kabupaten Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur, terancam terusir dari tanah yang ditinggali secara turun temurun.

Ketua Badan Pelaksana Harian Wilayah Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Kalimantan Timur, Saiduani Nyuk mengatakan ada empat wilayah adat terdampak pembangunan IKN. Wilayah itu dihuni sekitar 7.000 jiwa masyarakat adat.

Lihat Juga :
Pejabat IKN Mundur Jika 2 Tahun Istana Garuda Tak Berubah Warna Hijau

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Duan mengatakan sebagian masyarakat adat itu masih menempati wilayah-wilayah mereka, namun ada juga yang telah tergusur.

Ia menyebut masyarakat adat menolak opsi ganti rugi hingga skema relokasi yang ditawarkan pemerintah.

"Banyak pernyataan pemerintah akan ganti rugi, termasuk relokasi, bagi masyarakat adat tentu menolak skema soal relokasi dan ganti rugi," katanya.

"Ada beberapa warga yang tidak tinggal turun temurun, mereka rela diganti rugi, tapi bagi masyarakat adat, dibayar berapapun mereka tidak mau, karena mereka tidak ada pilihan lain pindah kemana. Berbeda hal masyarakat adat migrasi, mereka akan rela tanah mereka dibayar," imbuh dia.

Kekhawatiran digusur paksa terus membayangi masyarakat adat. Belum lagi, kata Duan, bayang-bayang ancaman kriminalisasi.

Kriminalisasi hingga pengusiran

Ia mengatakan sudah ada kriminalisasi yang terjadi pada sembilan orang petani di Kelurahan Pantai Lango, Kecamatan Penajam, karena menolak pembangunan proyek bandara.

"Misalnya kasus Pantai Lango ada 9 orang yang dikriminalisasi, ada juga pengusiran warga di Pemaluan, masyarakat adat diberi surat untuk meninggalkan tempat, itu sudah menjadi rambu-rambu, ketakutan warga di kawasan IKN. Mereka merasa tidak memiliki sertifikat tanah, mereka hanya memiliki pengakuan secara adat, bahwa mereka mendiami wilayah itu secara turun-menurun," kata Duan.

Belum lagi, dampak lingkungan dari pembangunan proyek di IKN. Duan menyebut air bersih kini susah didapat, bencana banjir juga menghantui.

Tidak hanya itu, kata dia, masyarakat adat kini sulit mengakses wilayah-wilayah adat yang mereka kuasai dulu, mereka juga tidak bisa berladang.

"Misalnya ditutup, tidak boleh masuk, tidak boleh berladang, tidak boleh beraktivitas di wilayah adat yang mereka kuasai. Dampak pembangunan mencemari air, sampai sekarang air enggak bisa diakses ini. Semua komunitas harus beli air galon dan sebagainya, banjir sering terjadi," ujar Duan.

Dalam konteks regional, ia mendesak pemerintah mengeluarkan aturan soal perlindungan dan pengakuan masyarakat adat di kawasan IKN.

"Sampai saat ini, bentar lagi 17 Agustus, IKN dipindah ke Kaltim, belum ada pembicaraan yang serius soal pengakuan dan perlindungan masyarakat adat di kawasan IKN," ujarnya.

Lihat Juga :
Komnas HAM Buka Posko Pengaduan di IKN, Tampung Keluhan Warga

Sekretaris Jenderal AMAN Rukka Sombolinggi mengatakan sejak awal pihaknya sudah menjelaskan bahwa ada banyak wilayah adat yang terdampak IKN.

Menurutnya, ada ancaman kepunahan pada Suku Balik yang mendiami wilayah adat.

"Orang Balik itu terancam punah, yang sudah berpuluh-puluh tahun, kenapa? Karena sudah berpuluh-puluh tahun kawasan mereka itu ditumpuki oleh konsesi-konsesi, sekarang yang punya konsesi paling banyak di sana, justru ada di wilayah adat, belum lagi komunitas lokal yang ada di sana, orang dari pulau lain, dari Sulawesi, Pulau Jawa, ini mau diapakan?" kata Rukka.

Ia mengatakan seharusnya ada pengakuan terhadap masyarakat adat di wilayah tersebut.

"Harus dibereskan dulu masalahnya, diakui masyarakat adat bahwa mereka pemilik sah asli tanah itu, dan jangan disingkirkan," ujarnya.

HGU IKN perparah konflik agraria

Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mencatat di Pulau Kalimantan sepanjang 2015-2023 terdapat 338 konflik agraria di lahan seluas 1.074.466,15 hektar. Konflik ini berdampak pada 113.474 keluarga.

Jika dirinci, di Kalimantan Timur dalam periode yang sama, terjadi 101 letusan konflik agraria di lahan seluas 618.374,04 hektar dan berdampak pada 33.041 keluarga.

Sekretaris Jenderal KPA Dewi Kartika mengatakan proyek IKN yang memberi keistimewaan bagi investor berupa 190 tahun Hak Guna Usaha (HGU) dan 160 tahun Hak Guna Bangunan (HGB) akan memperparah ketimpangan dan konflik agraria di Kalimantan Timur.

"Sepanjang 10 tahun terakhir terbukti HGU adalah penyebab tertinggi konflik agraria di tanah air. Apalagi jika diberi HGU super istimewa hampir dua abad," kata Dewi.

Dewi juga menjelaskan sebelum ada IKN, di Kalimantan Timur sudah banyak terjadi tumpang tindih antara wilayah adat atau wilayah masyarakat dengan konsesi perkebunan, tambang hingga klaim hutan tanaman industri oleh negara.

Seharusnya, kata dia, pemerintah menjalankan lebih dulu reforma agraria untuk memastikan proteksi, perlindungan hak-hak masyarakat setempat termasuk masyarakat adat.

"Karena kalau buru-buru tanpa ada proses reformasi penuntasan tumpang tundih klaim, maka yang terjadi adalah akumulasi masalah struktural yang akan semakin berlipat ganda di Kaltim. Kalau tidak dituntaskan dan akan rentan mengkriminalkan komunitas adat, petani kalau, misal mereka keberatan tanah atau wilayah adat menjadi target pembangunan IKN," katanya.

CNNIndonesia.comtelah menghubungi Wakil Kepala Otorita IKN Raja Juli Antoni dan Juru Bicara Otorita IKN Troy Pantouw untuk meminta tanggapan terkait situasi terkini yang dialami masyarakat adat dalam pembangunan IKN, namun keduanya belum merespons hingga berita ini diterbitkan.

Beberapa waktu sebelumnya, Otorita IKN menjamin tak akan melaksanakan aktivitas pembangunan proyek sebelum permasalahan dengan masyarakat adat setempat diselesaikan. Hal ini terkait kesepakatan hasil rapat yang digelar pada Rabu (15/3/2023) oleh OIKN bersama perwakilan masyarakat Suku Balik yang mendiami Kelurahan Sepaku, Kabupaten Penajam Paser Utara, Kaltim.

"Saya juga harus memberikan jaminan bahwa tidak ada pembangunan yang dilaksanakan di sini sebelum semua masalah di sini selesai," kata Deputi Bidang Sosial, Budaya dan Pemberdayaan Masyarakat OIKN Alimuddin kepada CNNIndonesia.com, Kamis (16/3/2023).

Lihat Juga :
Komnas HAM Kritik Penggundulan Polisi ke 9 Petani Pengancam Proyek IKN

10 tahun RUU Masyarakat Adat mangkrak

Di Hari Internasional Masyarakat Adat Sedunia ini, Rukka berharap ada kejelasan soal RUU Masyarakat Adat di DPR. Ia mengatakan sudah 10 tahun RUU itu mangkrak.

"Tentu saja sudah 10 tahun lebih UU Masyarakat Adat mangkrak di DPR, itu masih tertahan di dua fraksi, PDIP dan Golkar, mudah-mudahan setelah ini bisa bergulir," katanya.

Ia mengatakan AMAN sudah meminta waktu untuk bertemu dengan anggota DPR terkait dengan UU itu. Di sisi lain, Rukka juga berharap Presiden berikutnya memiliki perhatian serius terhadap masyarakat adat.

"Mudah-mudahan segera bisa dimasukan lagi dan disahkan, dan kita barharap masyarakat adat jadi perhatian serius presiden yang akan dilantik," katanya.

Akar Masalah Pembebasan Lahan 2.086 Hektare di IKN

Di acara terpisah Deputi Pengendalian Pembangunan Otorita Ibu Kota Nusantara (OIKN), Thomas Umbu Pati Tena Bolodadi mengungkap akar permasalahan yang menyebabkan pembebasan 2.086 hektare lahan untuk pembangunan IKN di Kalimantan Timur belum rampung sampai hari ini.

"Kita paham lah, kita sedikit historical momentya. Ada klaim-klaim masyarakat di dalam tanah itu," kata Thomas ditemui di UGM, Sleman, DIY, Jumat (9/8).

Menurut Thomas, klaim-klaim tersebut menyangkut sejarah kepemilikan lahan dan hak pengelolaan atas tanah (HPL) di masa lampau yang sebenarnya juga belum bisa dipastikan.

Persoalan ini, kata Thomas kerap terjadi di berbagai daerah di Indonesia. Sementara 2.086 hektare lahan di IKN ini termasuk dalam upaya pelepasan kawasan hutan seluas 36 ribu hektare.

"Apakah penentuan HPL saat itu masyarakat sudah ada apa belum, jujur aja. Ataukah masyarakat ada setelah penentuan HPL, kan ini jadi masalah, mana yang duluan," ungkapnya.

Thomas memastikan pemerintah akan membedah fakta empiris di lapangan demi menghindari penghakiman publik bahwa pemerintah menetapkan HPL tanpa melihat masyarakat yang mengaku sebagai pemilik lahan.

Untuk itu, pemerintah memeriksa status kepemilikan lahan dengan mengecek dokumen atau sertifikat tanah, serta menentukan format solusinya. Apakah melalui skema Penanganan Dampak Sosial Kemasyarakatan (PDSK) atau pembayaran uang ganti rugi.

Dia memastikan pemerintah tak akan bersikap kaku dalam penyelesaian masalah ini, terutama menyangkut masyarakat yang sudah sekian puluh tahun mendiami lahan tersebut. Klaimnya, warga selalu dilibatkan dalam setiap jengkal proses pembangunan IKN.

"Kita punya kebijakan, kita bisa lepas itu pada untuk masyarakat untuk jadi hak milik dan lain sebagainya," tegasnya.

(yoa/pmg)

Read more