potongan rambut two block haircut

2024-10-08 03:45:33  Source:potongan rambut two block haircut   

potongan rambut two block haircut,toba togel,potongan rambut two block haircut

Jakarta, CNBC Indonesia - Presiden Joko Widodo (Jokowi) akan menyelesaikan masa jabatannya dan digantikan oleh presiden terpilih, Prabowo Subianto pada 20 Oktober lagi atau kurang daru dua bulan. Namun menjelang selesainya era Jokowi,  kondisi ekonomi Indonesia justru semakin tidak baik-baik saja.

Setidaknya terdapat empat hal yang terindikasi mengalami kemunduran di akhir masa kepemimpinan Jokowi.

1. Deflasi & Daya Beli Menurun

Badan Pusat Statistik (BPS) telah merilis data Indeks Harga Konsumen (IHK) pada (2/9/2024) dan menunjukkan deflasi secara bulanan (month to month/mtm) selama empat bulan beruntun atau sejak Mei 2024.

"Deflasi bulan Agustus 2024 lebih rendah dari Juli 2024 dan merupakan deflasi keempat 2024," kata Pudji Ismartini, Deputi Bidang Distribusi dan Jasa BPS, dalam rilis BPS, Senin (2/9/2024).

Deflasi empat bulan beruntun secara bulanan ini pertama kali terjadi sejak 1999 atau 25 tahun terakhir. Artinya, selama Era Reformasi, Indonesia baru mengalami deflasi empat bulan beruntun.

Deflasi empat bulan beruntun dalam sejarah panjang Indonesia hanya terjadi dua kali dalam kurun waktu 45 tahun (1979-2024) yakni pada 1999 dan tahun ini. Anomali besar ini jelas memunculkan tanda tanya.

Deflasi ini juga menjadi kekhawatiran tersendiri. Pasalnya, deflasi empat bulan beruntun semakin menegaskan sinyal pelemahan daya beli masyarakat di tengah kondisi ekonomi yang sedang tidak stabil saat ini.

Baca:
Awal September, Jokowi Langsung Dapat 2 "Tamparan" Keras

Lebih lanjut, deflasi yang dialami Indonesia selama empat bulan beruntun yang diikuti dengan turunnya PMI Manufaktur Agustus yang anjlok ke level 48,9 poin menjadi indikasi adanya penurunan daya beli masyarakat, melandainya ekspor serta ancaman pemutusan hubungan kerja (PHK) ke depan.

Economist Team Bank Rakyat Indonesia (BRI) dalam laporannya 'Inflasi Agustus 2024' menunjukkan bahwa pelemahan daya beli ini disebabkan oleh memburuknya pasar tenaga kerja nasional, tercermin dari lowongan kerja yang terus menurun (8,5 ribu) dibandingkan bulan sebelumnya (14,0 ribu). Hal ini disebabkan oleh aktivitas manufaktur nasional yang semakin memburuk dan kontraktif (48,9).

BRIFoto: Lowongan Kerja (ribu unit)
Sumber: CEIC dan diolah oleh BRI

Pelemahan daya beli juga terlihat dari sisi kelas menengah yang semakin tertekan. Ekonom senior sekaligus mantan Menteri Keuangan, Bambang Brodjonegoro mengungkapkan penyebab kelas menengah di Indonesia banyak jatuh miskin. Dia menduga hal ini disebabkan oleh banyak faktor yang dimulai dengan pandemi Covid-19.

"Penyebabnya itu variatif. Karena kan kita lihat datanya dari 2019 ke 2023. Jadi penyebab pertama adalah Covid," kata Bambang ditemui di kantor Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin), dikutip Jumat, (30/8/2024).

Bambang mengatakan selama Covid-19, banyak kelas menengah kehilangan pekerjaan. Sebagian lainnya, kata dia, mengalami kebangkrutan bisnis.

Ia juga menambahkan bahwa pasca pandemi, masyarakat dihadapkan dengan suku bunga yang tinggi. Kenaikan suku bunga itu, kata dia, mau tak mau turut mempengaruhi perekonomian.

Senada, Chief Economist Bank Permata, Josua Pardede mengungkapkan catatan deflasi di Agustus mencerminkan adanya pelemahan daya beli.

"Tren deflasi ini dipengaruhi oleh supply pangan yang sudah mulai membaik atau normalized pasca factor el nino di awal tahun ini. Namun kita juga perlu mencermati bahwa ada kecenderungan daya beli masyarakat ada kemungkinan trennya sudah mulai menurun. Hal ini diperkuat dengan data yang dirilis pagi ini adalah PMI manufacturing Indonesia kembali lagi masuk ke dalam fase kontraktif." tutur Josua dalam program Profit, CNBC Indonesia (Senin, 02/09/2024)

2. PMI Manufaktur Indonesia Alami Kontraksi

Data Purchasing Managers' Index (PMI) yang dirilis S&P Global kemarin menunjukkan PMI manufaktur Indonesia jatuh dan terkontraksi ke 48,9 pada Agustus 2024. Artinya, PMI Manufaktur Indonesia sudah mengalami kontraksi selama dua bulan beruntun yakni pada Juli (49,3) dan Agustus.

PMI juga terus memburuk dan turun selama lima bulan terakhir. PMI anjlok dari 54,2 pada Maret 2024 dan terus anjlok hingga Agustus 2024.

Kontraksi PMI dua bulan beruntun juga menjadi tren negatif setelah PMI Indonesia ada dalam fase ekspansif selama 34 bulan pada September 2021 hingga Juni 2024.

Untuk diketahui, PMI menggunakan angka 50 sebagai titik mula. Jika di atas 50, maka artinya dunia usaha sedang dalam fase ekspansi. Sementara di bawah itu artinya kontraksi atau berada di zona negatif.

S&P Global menjelaskan manufaktur Indonesia terkontraksi lebih lanjut karena menurunnya output dan pesanan baru dengan tingkat yang lebih tajam.

"Penurunan pesanan asing juga meningkat, mencapai tingkat terendah sejak Januari 2023. Selain permintaan ekspor yang lebih lemah secara umum, beberapa perusahaan melaporkan bahwa tantangan pengiriman global berdampak pada penjualan," tulis S&P.

3. PHK Melonjak

Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) melesat dengan cukup tajam. Data Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) menunjukkan, jumlah pekerja yang terkena PHK pada periode Januari-Juni 2024 mencapai 32.064 orang. Angka tersebut naik 21,4% dari periode tahun 2023 yang tercatat mencapai 26.400 orang.

Beberapa provinsi menyumbang kasus PHK terbesar, salah satunya yakni Jakarta.

Jumlah pekerja yang mengalami PHK di Jakarta pada Januari-Juni 2024 menembus 7.469 orang. Jumlah tersebut bertambah 6.786 orang atau hampir 1.000% dibandingkan periode yang sama tahun lalu.

Ancaman PHK masih besar sejalan dengan kontraksinya PMI. S&P dalam laporan PMI Agustus bahkan menyoroti hal ini. Turunnya produksi dan pesanan baru menyebabkan berkurangnya pekerjaan di pabrik manufaktur Indonesia. Secara keseluruhan, jumlah tenaga kerja turun dua bulan berturut-turut, meskipun hanya sedikit.

"Ada laporan mengenai tidak digantinya pekerja yang meninggalkan perusahaan atau pelaksanaan pemutusan hubungan kerja sementara karena turunnya penjualan dan produksi saat ini," tutur S&P.

4.Transaksi Berjalan Defisit Terus, Investasi Langsung Ambles

Transaksi berjalan Indonesia mengalami defisit pada kuartal II-2024 yakni sebesar US$3,02 miliar atau setara dengan 0,9% dari Produk Domestik Bruto (PDB), lebih dalam dibandingkan kuartal sebelumnya yang tercatat US$ 2,41 miliar (0,7% dari PDB). Hal ini semakin memperpanjang tren defisit menjadi lima kuartal beruntun atau sejak kuartal II-2023.

Defisit transaksi berjalan yang semakin membesar ini menunjukkan adanya kebutuhan dolar Amerika Serikat (AS) yang meningkat. Kondisi tersebut juga dapat mencerminkan adanya pemburukan pada fundamental ekonomi Indonesia.

Lebih lanjut, defisit transaksi berjalan yang besar dan berkepanjangan akan berdampak pada melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS). Kemudian, BI berpotensi menaikkan suku bunganya dan akan berdampak negatif bagi iklim bisnis di Indonesia.

Tidak sampai disitu, angka investasi langsung yang dirilis Bank Indonesia (BI) juga mengalami penurunan.

Sebagai informasi, semakin rendah angka investasi langsung, maka hal ini menunjukkan bahwa warga Indonesia cenderung berbondong-bondong untuk berinvestasi di luar negeri dibandingkan di dalam negeri.

Data terakhir menunjukkan investasi langsung relatif surplus US$1,38 miliar pada kuartal II-2024. Namun angka ini merupakan yang paling rendah sejak kuartal III-2020 yang pada saat itu surplus sebesar US$0,99 miliar.

Sementara jika kita keluarkan momen Covid-19, maka surplus investasi langsung kali ini merupakan yang terendah sejak kuartal IV-2018.

Jika kondisi perekonomian tak kunjung membaik (global maupun domestik), maka bukan tidak mungkin sebanyak banyak investor yang berinvestasi di luar negeri dibandingkan di Tanah Air.

Ketika hal tersebut terjadi, maka roda perekonomian di dalam negeri akan semakin sulit untuk dapat bergerak dan tumbuh sesuai dengan target optimis pemerintah.

CNBC INDONESIA RESEARCH

[email protected]

(rev/rev) Saksikan video di bawah ini:

Prabowo: Hilirisasi Mutlak, Tidak Bisa Ditawar!

iframe]:absolute [&>iframe]:left-0 [&>iframe]:right-0 [&>iframe]:h-full">

Read more