super gacor88 login

2024-10-08 01:27:32  Source:super gacor88 login   

super gacor88 login,klasemen alanyaspor,super gacor88 loginJakarta, CNN Indonesia--

SeranganIsrael di JalurGaza, Palestina, masih terus intens sejak dilancarkan sebulan lalu pada 7 Oktober 2023.

Israel terus menggempur brutal daerah kantong tersebut baik di udara dan darat, meski telah dikecam keras oleh komunitas internasional karena banyaknya warga sipil yang berjatuhan.

Hingga Jumat (10/11), Kementerian Kesehatan Gaza melaporkan 11.078 warga Palestina tewas imbas serangan Israel. Dari jumlah itu, 4.506 di antaranya merupakan anak-anak.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Hamas mengklaim menyerang Israel untuk membebaskan warga Palestina yang ditahan Tel Aviv, menghentikan agresi Israel terhadap Masjid Al-Aqsa, serta menyudahi pengepungan di Gaza.

Merespons ini, militer Israel pun mendeklarasikan "keadaan waspada perang" dan mulai balas menggempur Gaza, termasuk membombardir bangunan dan fasilitas sipil. Pada 9 Oktober, Negeri Zionis juga memblokade total Gaza dengan memutus aliran listrik, makanan, air, hingga bahan bakar ke daerah kantong tersebut.

Israel sebetulnya sudah mulai mengizinkan bantuan-bantuan kemanusiaan memasuki Gaza sejak 21 Oktober. Namun, jumlahnya sangat jauh dibandingkan dengan bantuan sebelum perang. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sampai memperingatkan bahwa situasi di Gaza "lebih dari sekadar krisis kemanusiaan."

Dengan eskalasi konflik dan situasi mengkhawatirkan yang kian menjadi-jadi di Gaza ini, apa yang akan terjadi dengan Gaza apabila Hamas kalah dari Israel?

Lihat Juga :
Respons PM Israel Soal Pernyataan Emmanuel Macron Soal Palestina

Pengamat hubungan internasional dari Universitas Indonesia, Yon Machmudi, menilai Gaza bisa saja jatuh kembali ke tangan Israel apabila tidak ada perlawanan yang seimbang dan signifikan dari Hamas.

"Jika seandainya tidak ada perlawanan yang signifikan dari Hamas, dan memang peperangan ini tidak seimbang, maka dikhawatirkan Gaza akan jatuh kembali ke tangan Israel," kata Yon kepada CNNIndonesia.com.

Yon menjelaskan Israel tampaknya ingin menyelesaikan perang dengan meratakan Gaza lewat serangan roketnya yang bertubi-tubi. Jika Hamas tak bisa menghalau ini, dan Gaza akhirnya berhasil dikuasai kembali Negeri Zionis, tentu kondisi rakyat Palestina akan semakin memburuk.

Pasalnya, Israel nanti tak cuma menduduki Tepi Barat saja, tetapi juga Gaza, yang sejak 2007 dikendalikan penuh oleh Hamas.

"Tekanan demi tekanan saya kira menjadi semakin kuat dan saya kira Israel tidak ingin ada gerakan-gerakan perlawanan [yang muncul di kemudian hari]," ucap Yon.

Lihat Juga :
RS Indonesia di Gaza Kewalahan, Banyak Korban Luka Dirawat di Lorong

Pada 1948, pertempuran pecah antara Israel dan Arab Palestina usai PBB memutuskan membagi wilayah Palestina, dengan memberikan 55 persen kepada kaum Yahudi dan sisanya untuk orang Arab. Resolusi yang berlaku Mei 1948 ini mengakhiri Mandat Inggris atas Palestina dan mendorong Israel mendirikan negaranya sendiri.

Pertempuran pun pecah, yang berujung pada perang Arab-Israel tak lama setelah itu. Ratusan ribu pengungsi Palestina pun akhirnya melarikan diri ke Jalur Gaza imbas konflik tersebut.

Gaza kemudian diduduki dan dikelola Mesir hingga 1967 di bawah penandatanganan gencatan senjata. Namun di tahun itu pula, Perang Enam Hari meletus antara Israel dan negara Arab tetangganya yakni Mesir, Yordania, Irak, dan Suriah.

Israel menang atas konflik ini dan sukses menduduki Gaza, Tepi Barat, serta Yerusalem Timur. Bentrokan demi bentrokan pun meletus dan terus berlanjut hingga hari ini.

Pada 1987, tahun peristiwa intifada pertama, kelompok Hamas berdiri dan menyebar ke wilayah pendudukan Israel di Palestina. Pada 2000, intifada (perlawanan) kedua Palestina kembali terjadi dan baru berakhir pada 2005 usai Israel dan Palestina setuju berdamai.

[Gambas:Video CNN]

Saat itu, Israel sepakat menarik pasukan dan ribuan pemukim dari Jalur Gaza. Pada 2006, Hamas pun memenangkan pemilu di Gaza mengalahkan Fatah, partai utama Palestina yang mengendalikan Otoritas Palestina selaku pemerintah dukungan Amerika Serikat di Tepi Barat.

Setahun berselang, Hamas mengusir Otoritas Palestina dari Gaza dan menguasai penuh wilayah tersebut.

Hamas memiliki komitmen untuk mengusir Israel dan menggantikan negara itu dengan negara Palestina. Tidak seperti Otoritas Palestina, Hamas memang tidak pernah mengakui hak keberadaan Israel.

Dalam beberapa tahun terakhir, Hamas pun kerap melancarkan serangan ke wilayah Israel demi mencapai komitmennya tersebut.

Menurut Yon, jika Israel akhirnya menguasai kembali Gaza seperti sebelumnya, pelanggaran-pelanggaran HAM tentu akan terjadi sedemikian rupa di wilayah ini.

"Dan negara-negara Barat, Amerika Serikat, tidak bisa menghentikan apa yang akan terjadi di wilayah Palestina jika Israel bisa mengalahkan Hamas dan kembali menguasai, memasukkan kembali tentara dan juga pendudukan di wilayah Gaza," tutur Yon.

Sementara itu, menurut pengamat studi Timur Tengah dari Universitas Indonesia lainnya, Sya'roni Rofii, Gaza sejak dulu pun sudah berada di bawah kendali Israel. Sebab, secara keamanan, "yang menjaga wilayah terluar (daerah kantong) itu adalah Israel."

"Karena orang-orang Palestina jika mereka hendak bepergian ke luar negeri mereka harus diperiksa oleh otoritas Israel. Itu yang terjadi selama ini," ucap Sya'roni kepada CNNIndonesia.com.

Sya'roni pun berujar konflik yang terjadi saat ini membuka mata dunia bahwa ada kecenderungan Israel ingin menguasai seluruh wilayah Palestina. Dengan demikian, solusi menciptakan dua negara untuk hidup berdampingan, seperti yang diharapkan komunitas global, tak akan pernah terwujud.

Solusi dua negara merupakan gagasan yang muncul ketika PBB pada 1947 mengusulkan rencana membagi Palestina menjadi dua negara, yakni satu untuk kaum Yahudi dan satu lagi untuk orang-orang Arab.

"Apalagi Israel kan memiliki kekuatan militer yang superior sehingga bisa dipastikan Hamas tidak sebanding dengan Israel. Maka dari itu, yang bisa dilakukan masyarakat dunia adalah memastikan jangan sampai Israel mengusir orang Palestina secara keseluruhan dan itu [pun] tidak dikehendaki oleh Amerika Serikat," tuturnya.

Lihat Juga :
Houthi Ikut Serang Israel, Mungkinkah Bikin Takut Tel Aviv?

Ucapan Sya'roni menyoroti pernyataan terbaru Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken, yang menegaskan Tel Aviv "tidak boleh mengambil kendali dan tanggung jawab atas Gaza" usai perang ini selesai.

Hal ini juga dilontarkan oleh Menteri Luar Negeri Inggris James Cleverly, yang mengatakan negaranya menolak pendudukan jangka panjang Israel di Jalur Gaza.

Namun, Blinken menyebut Gaza juga tidak boleh terus dipimpin oleh Hamas. Menurutnya, rakyat Palestina harus menjadi kesatuan yang dipimpin oleh pemerintahan pusat atas Gaza dan Tepi Barat.

Lebih lanjut, Sya'roni juga menyebut saat ini negara-negara Arab dan Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) akan melaksanakan rapat darurat guna membahas eskalasi konflik di Gaza. Dia pun berharap dunia Arab dan Muslim bisa satu suara sehingga mampu mengubah pikiran AS untuk mendukung gencatan senjata.

"Jika suara negara-negara OKI disampaikan kepada Amerika Serikat, mungkin AS bisa berubah pikiran dan menekan Israel supaya melakukan de-eskalasi, gencatan senjata," tuturnya.

[Gambas:Photo CNN]

Senada, pengamat politik dan hubungan internasional di Timur Tengah dari Universitas Indonesia, Hendra Kurniawan, juga mengatakan kondisi Gaza tidak akan pernah sama seperti semula pasca perang ini.

Hendra menggaungkan pernyataan para petinggi Israel yang hendak memusnahkan Hamas hingga ke akar-akarnya.

Dia menilai Operasi Pedang Besi Israel di Gaza "nampaknya jauh lebih ambisius dibandingkan apapun yang direncanakan Israel di Gaza sebelumnya". Apalagi, dengan kemunculan front-front lain seperti Hizbullah di Lebanon yang dibekingi Iran.

AS juga menurutnya tidak akan mampu dilobi negara-negara Barat karena sudah mewanti-wanti "negara mana pun" untuk tidak terlibat dalam konflik menahun tersebut. Ini dipertegas pula dengan pengiriman kapal induk ke Mediterania Timur guna mencegah eskalasi perang.

Kendati begitu, Hendra tetap meyakini bahwa langkah sigap yang diambil OKI saat ini, dengan mengumpulkan para anggota untuk rapat darurat, bisa membawa pengaruh dalam akhir agresi Israel di Gaza.

"Sebelumnya, Sekretariat Jenderal OKI sendiri telah mengecam aksi militer Israel seraya menegaskan bahwa berlanjutnya pendudukan, ketidakpatuhannya terhadap resolusi internasional, meningkatnya serangan dan kejahatan harian terhadap rakyat Palestina, baik tanah, tempat-tempat suci dan hak-hak sah, telah memperburuk keadaan dan membuat ketidakstabilan," kata Hendra.

Read more