surya 168

2024-10-07 23:42:41  Source:surya 168   

surya 168,hasil skor liga champion tadi malam,surya 168

Jakarta, CNBC Indonesia - Rencana pemerintah untuk menerapkan tarif KRL Jabodetabek baru berbasis Nomor Induk Kependudukan (NIK) mulai 2025 berpotensi semakin menekan daya beli kelas menengah, yang saat ini jumlahnya kian menyusut.

Chief Economist Bank Permata Joshua Pardede bahkan memperkirakan, perubahan tarif angkutan umum di tengah maraknya pemberian insentif pembelian mobil, termasuk insentif pajak untuk mobil listrik bisa memunculkan fenomena Chilean Paradox di Tanah Air.

Fenomena itu sebelumnya sering disampaikan Menteri Keuangan periode 2013-2014 Chatib Basri saat mewanti-wanti pemerintah yang terbilang abai dalam mengurus kelas menengah. The Chilean Paradox sendiri ialah fenomena meletusnya kerusuhan sosial yang hampir berujung pada revolusi pada Oktober 2019 di Chile.

"Jadi sehingga inilah yang menyebabkan adanya indikasi, indikasi awal terjadinya Chilean Paradox yang mungkin terjadi di ekonomi kita, karena tadi ekonomi kita tetap solid saja 5 persen, tapi tidak terjadi pemerataan pembangunan yang merata, khususnya di kelas menengah ke bawah," kata Joshua dalam program Profit CNBC Indonesia, dikutip Selasa (3/9/2024).

Baca:
Daya Beli Warga RI Gonjang-ganjing, Tapi Tetap Doyan Jalan-Jalan

Josua mengatakan, rencana pengubahan tarif KRL Jabodetabek itu bisa mengganggu daya beli kelas menengah karena menjadi salah satu alat transportasi utama masyarakat kelas pekerja yang rumahnya jauh dari pusat industri. Rencana perubahan tarif itu diiringi dengan potensi kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) pada awal 2025.

"Karena kalau kita bicara fenomena yang terjadi belakang ini, misalkan kelas menengah khawatir konsen terkait dengan rencana kenaikan ataupun penyesuaian tarif KRL, ini kan karena melihat di sisi lainnya untuk yang insentif pajak mobil listrik, ini yang menikmati adalah kelas atas," tegas Josua.

"Makanya mereka merasakan ketidakadilan di situ, di mana subsidi yang besar itu masih dinikmati oleh kelas atas, sementara itu yang kelas menengahnya ini bahkan ditambah terus beban hidupnya, termasuk juga adanya potensi penyesuaian tarif KRL, dan juga di tahun depan ada kemungkinan juga untuk tarif PPN naik," tutur Josua.

Baca:
Awal September, Jokowi Langsung Dapat 2 "Tamparan" Keras

Suara-suara kelas pekerja yang menolak kenaikan tarif KRL itu sudah mulai banyak bermunculan. Misalnya Tyas (33), dia menilai rencana pemerintah menaikan tarif KRL berbasis NIK tidak masuk akal. Menurutnya, fasilitas umum merupakan sesuatu yang bisa dinikmati oleh siapapun, terlepas dari status kelas sosialnya.

"Rencana pemerintah untuk menaikkan tarif KRL berbasis NIK itu nggak masuk akal banget ya. Karena memang menurutku fasilitas umum itu sebenarnya bisa dinikmati oleh siapa saja, dan itu seluruh masyarakat Indonesia berhak menikmati itu," kata Tyas saat ditemui CNBC Indonesia di Stasiun Bogor, Jumat (30/8/2024).

Hal senada juga disampaikan Syarah (27), yang merupakan pengguna setia KRL Jabodetabek. Ia menilai wacana pemerintah itu sedikit tidak masuk akal dan meribetkan masyarakat. Apalagi ditambah masyarakat menengah dan menengah ke bawah yang juga sudah tertekan dengan adanya berbagai pajak yang dibebankan.

"Menurut saya, wacana pemerintah untuk naikin tarif sesuai NIK ini agaknya nggak masuk akal dan ribet. Karena tentu masyarakat menengah dan menengah ke bawah sudah tertekan dengan adanya berbagai pajak yang dibebankan," ucap Syarah.

Baca:
Heboh Tarif KRL Naik, di Negara Ini Rakyat Ngamuk-Stasiun Direbut

Suara yang bermunculan ini tentu bisa menjadi catatan khusus pemerintah untuk mempertimbangkan keputusan terhadap kebijakan-kebijakan yang menggerus daya beli masyarakat. Daya beli masyarakat sendiri menurut Josua memang tengah tertekan, tercermin dari munculnya fenomena deflasi empat bulan buruntun Mei-Agustus 2024.

Deflasi pada Mei 2024 tercatat 0,03% secara bulanan (month to month/mtm), semakin dalam pada Juni 2024 sebesar 0,08%. Pada Juli 2024 angkanya memburuk menjadi tembus 0,18%. Namun, BPS mencatat deflasi mulai membaik pada Agustus 2024, yakni kembali ke level 0,03% mtm.

Tertekannya daya beli masyarakat ini pun telah diperhitungkan oleh pelaku usaha, yang tercermin dari makin merosotnya angka Purchasing Manager's Index (PMI) Manufaktur Indonesia yang kini terkontraksi lebih dalam ke level 48,9 pada Agustus 2024. Lebih dalam dari level kontraksi pada bulan sebelumnya di level 49,3.

"Kecenderungan juga bahwa daya beli masyarakat pun ada kemungkinan trennya sudah mulai menurun, dan ini diperkuat lagi dengan data yang juga dirilis di pagi tadi (2/9) adalah PMI Manufacturing Indonesia kembali lagi masuk dalam fase yang kontraktif," ujar Josua.

Di Balik Chilean Paradox 

Tak heran, Chatib Basri telah lama mewanti-wanti pemerintah untuk tidak terus menerus melupakan kepentingan kelas menengah di Indonesia. Ia khawatir, jika kelas menengah tak terus menerus mendapat fokus kebijakan, Indonesia bisa bernasib seperti Chile.

Baca:
Heboh Subsidi Tarif KRL Jabodetabek Pakai NIK, Jokowi Sebut Belum Tahu

Chatib memperingatkan persoalan ini karena menurutnya ekonomi kalangan kelas menengah ke bawah di Indonesia saat ini terus tertekan, ditandai dengan fenomena makan tabungan atau mantab, yakni pengguna tabungan untuk konsumsi oleh masyarakat karena pendapatannya tak cukup memenuhi kebutuhan harian.

Namun di tengah kondisi itu, pemerintah saat ini baru mengurus golongan miskin melalui pemberian bantuan sosial. Sementara, kelas menengah yang daya belinya juga turun kurang mendapatkan perhatian.

Oleh sebab itu, ketika dirinya pada September lalu sempat satu forum dengan mantan Presiden Chile Michelle Bachelet yang bercerita tentang The Chilean Paradox, ia menjadi teringat kondisi Indonesia.

Chatib menekankan paradoks itu sebetulnya kecil kemungkinan terjadi di Indonesia, pemerintah tetap patut waspada. "Saya yakin ini tidak akan terjadi di Indonesia segera, tapi kita harus hati-hati," kata dia.

Sebagai catatan, seperti Indonesia, mayoritas penduduk Chile juga didominasi oleh kelas menengah yang memiliki penghasilan tidak besar dan tidak kecil. Mereka sangat mengandalkan transportasi umum berharga murah yang disubsidi pemerintah.

Namun, pada 6 Oktober 2019, pemerintah Chile tiba-tiba menaikkan tarif KRL sebesar 4% di Ibukota negara, Santiago. Pemerintah berdalih kenaikan terjadi imbas meroketnya harga bahan bakar dan pelemahan nilai tukar Peso Chile terhadap dollar AS. Meski begitu, alasan pemerintah tak bisa diterima masyarakat.

Baca:
Prabowo Mau Bentuk Lagi Kementerian Perumahan, Ini Kata Sri Mulyani

Sebagai tanggapan, masyarakat melakukan aksi protes besar-besaran sepanjang bulan Oktober. Time melaporkan, aksi protes pertama kali dilakukan oleh siswa sekolah menengah dan mahasiswa. Mereka melompati palang tiket supaya menghindari kenaikan tarif. Sekaligus juga menyerukan kepada khalayak agar tak membayar tiket KRL.

Seiring berganti hari, aksi kemudian diikuti oleh masyarakat luas. Mereka melakukan hal sama dan turut serta turun ke jalan menyuarakan protes. Mengutip laporan Reuters, mereka melakukan demonstrasi karena menganggap kenaikan tarif KRL menambah beban keuangan mereka. Sebab selama ini mereka sudah dibebani oleh mahalnya biaya pendidikan dan kesehatan.

Sayang, aksi ini kemudian ditanggapi secara keras pemerintah dengan mengirimkan polisi ke seluruh stasiun. Secara represif, polisi menghalau para demonstran. Alhasil, bentrokan dan kerusuhan hebat tak bisa dihindari.

Demonstran menyerang dan membakar banyak stasiun sehingga infrastruktur publik rusak dan roda ekonomi berhenti. Pemerintah kewalahan hingga mengeluarkan jam malam dan keadaan darurat. Tak hanya itu, aksi protes yang berawal dari kenaikan tarif KRL di Ibu kota negara menjadi katalisator demonstrasi masyarakat di banyak kota lain.

Mereka menjadikan aksi tersebut suara untuk menyuarakan perbaikan kualitas hidup dan ketimpangan sosial. Dalam laporan Vox, Chile menjadi negara dengan ketimpangan tertinggi di Amerika Latin. Negara itu kaya, tapi banyak masyarakat yang berada dalam jeratan kemiskinan, sehingga memunculkan istilah baru di dunia ekonomi: Chilean Paradox.


(arj/haa) Saksikan video di bawah ini:

Video: Kelas Menengah, Sudah Kena PHK Tertimpa Pajak Pula

iframe]:absolute [&>iframe]:left-0 [&>iframe]:right-0 [&>iframe]:h-full">Next Article Penampakan Ngeri Kereta Api 'Adu Banteng' di Chili, Makan Korban Jiwa

Read more