sgwin

2024-10-07 21:50:58  Source:sgwin   

sgwin,kode alam capung masuk rumah,sgwinJakarta, CNN Indonesia--

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan lima orang tersangka dalam kasus dugaan korupsi terkait pengadaan lahan di Rorotan, Kecamatan Cilincing, Jakarta Utara oleh Perumda Pembangunan Sarana Jaya (PPSJ) tahun 2019-2020.

Para tersangka yaitu mantan Direktur Utama PPSJ Yoory Corneles Pinontoan (YCP); Senior Manager Divisi Usaha atau Direktur PPSJ Indra S. Arharrys (ISA); Direktur Utama PT Totalindo Eka Persada (TEP) Donald Sihombing (DNS); Komisaris PT TEP Saut Irianto Rajagukguk (SIR); dan Direktur Keuangan PT TEP Eko Wardoyo (EKW).

"KPK selanjutnya melakukan penahanan kepada para Tersangka untuk 20 hari pertama, terhitung sejak tanggal 18 September 2024 s.d 7 Oktober 2024. Penahanan dilakukan di Rutan Cabang Gedung KPK Merah Putih," ujar Direktur Penyidikan KPK Asep Guntur Rahayu dalam jumpa pers di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Rabu (18/9).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

PT TEP dimiliki oleh DNS yang juga menjabat sebagai Direktur Utama. Sedangkan Direktur Independen/Keuangan PT TEP ialah EKW dan Komisaris PT TEP dijabat oleh SIR.

Pada Februari 2019, PT TEP berencana membeli enam bidang tanah milik PT Nusa Kirana Real Estate (NKRE) di Rorotan dengan luas sekitar 11,7 Ha seharga Rp950 ribu/m2 yang akan diperhitungkan sebagai pembayaran utang PT NKRE kepada PT TEP dengan nilai transaksi Rp117 miliar.

Pada 18 Februari 2019, PT TEP mengirimkan surat tentang kerja sama pengelolaan lahan seluas 11,7 Ha yang berlokasi di Jalan Rorotan Marunda, Kelurahan Rorotan, Kecamatan Cilincing, Jakarta Utara dengan harga penawaran Rp3,2 juta/m2 menggunakan skema KSO (Kerja Sama Operasional) pengelolaan tanah bersama antara PT TEP dengan PPSJ.

"Hal ini kemudian direspons oleh saudara YCP dengan mengirimkan Surat Kepeminatan atas penawaran tanah tersebut," ungkap Asep.

Selanjutnya pada 1 Maret 2019, dilakukan rapat negosiasi harga antara PT TEP dengan PPSJ atas tanah tersebut yang dihadiri oleh YCP dan DNS. Keduanya menyepakati besaran harga tanah yang akan dilakukan KSO adalah Rp3 juta/m2. Saat itu, PPSJ belum menunjuk KJPP (Kantor Jasa Penilai Publik) untuk menilai harga tanah. Selain itu, PPSJ juga belum melakukan kajian internal terkait penawaran KSO dari PT TEP.

"YCP dan ISA mengetahui bahwa harga wajar tanah Rorotan ditawarkan oleh PT Totalindo Eka Persada (PT TEP) sebetulnya jauh di bawah harga penawaran PT TEP yakni di bawah Rp2 juta/m2," tutur Asep.

"Informasi harga wajar sesuai analisis internal dan informasi dari KJPP Wisnu Junaidi telah disampaikan oleh Farouk M Arzby kepada YCP, namun YCP mengabaikan hal tersebut," sambung dia.

Lihat Juga :
KPK Periksa Direksi Totalindo Eka Persada Usut Pengadaan Lahan Rorotan

YCP bahkan disebut mengarahkan agar tidak perlu menunjuk KJPP independen untuk melakukan penilaian harga wajar tanah, namun cukup menggunakan laporan penilaian KJPP yang ditunjuk/ditugaskan oleh penjual/PT TEP.

Asep menjelaskan hal itu bertentangan dengan Pergub DKI Nomor 50 Tahun 2019 tentang Pedoman Pengadaan Barang dan Jasa BUMD dan Pergub DKI Nomor 51 Tahun 2019 tentang Penugasan kepada BUMD terkait Penyediaan Rumah untuk MBR.

Pada 6 Maret 2019, YCP dan DNS melakukan penandatanganan Perjanjian Pendahuluan tentang Perjanjian KSO Proyek Tanah Rorotan antara PPSJ dengan PT TEP.

Dalam surat perjanjian tersebut, PT TEP mengaku sebagai pemilik sah dan berhak sepenuhnya atas enam bidang tanah seluas 11,7 Ha. Padahal, kata Asep, pihak PT TEP mengetahui saat itu keenam SHGB tanah Rorotan masih atas nama PT NKRE dan belum ada peralihan hak kepemilikan atas tanah dari PT NKRE ke PT TEP.

Pada periode awal bulan Maret 2019, PPSJ membayar kepada PT TEP uang muka dengan nilai total sebesar Rp30 miliar atas Perjanjian KSO ini. Namun, karena tidak mendapat persetujuan Dewas PPSJ, perjanjian KSO ini kemudian dibatalkan dan uang muka dikembalikan oleh PT TEP kepada PPSJ.

"Saudara YCP kemudian memerintahkan agar transaksi tersebut diubah dari skema KSO menjadi skema beli putus tanah tanpa melakukan proses beli putus tanah dari awal sesuai dengan ketentuan yang berlaku di PPSJ," ungkap Asep.

Pembayaran uang muka Tahap 1 KSO sebesar Rp20.000.000.000 pada 6 Maret 2019 dan pelunasan tahap I sebesar Rp10.000.000.000 pada 8 Maret 2019 tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

"Bahwa pada akhir bulan Maret 2019, saudara YCP dan saudara DNS melakukan penandatanganan enam Akta PPJB atas enam bidang tanah Rorotan antara PPSJ dan PT TEP," tutur Asep.

Asep menambahkan PPSJ juga membayar uang muka pembelian tanah kepada PT TEP sebesar Rp150 miliar walaupun saat itu PT TEP belum melunasi kewajiban pembayaran tanah kepada PT NKRE.

Pada periode April-September 2019, PPSJ telah melakukan beberapa kali pembayaran senilai Rp201 miliar kepada PT TEP. Dengan demikian, total pembayaran untuk tanah seluas 11,7 Ha dari PPSJ kepada PT TEP adalah Rp351 miliar.

Selanjutnya pada 22 Februari 2021, PPSJ melakukan pelunasan atas penambahan luas tanah Rorotan dengan membayar Rp14 miliar kepada PT TEP, sehingga total uang pembayaran yang telah dikeluarkan PPSJ kepada PT TEP untuk pembelian tanah Rorotan seluas 12,3 Ha (11,7 Ha luas awal ditambah 0,6 Ha penambahan luas pasca pengukuran ulang) adalah Rp370 miliar.

Pada 23 Februari 2021, terang Asep, baru dilakukan penandatanganan enam AJB antara PT TEP dengan PPSJ untuk jual beli tanah Rorotan, Jakarta Utara dengan luas total 12,3 Ha.

YCP menentukan lokasi lahan Rorotan yang akan dibeli secara sepihak tanpa didahului kajian teknis yang komprehensif meskipun kondisi lahan berawa dan membutuhkan biaya pematangan lahan yang cukup besar.

Selain itu, kondisi lahan tidak memenuhi kriteria teknis lahan Rumah Susun Sederhana (Rusuna) sebagaimana yang ditentukan pada Pasal 3 Pergub DKI Nomor 27 Tahun 2009 tentang Pembangunan Rusuna.

"Penentuan beli putus untuk tanah tanpa melalui kajian," kata Asep.

Ia menuturkan memo intern penyampaian laporan penilaian atas penawaran lokasi Jalan Rorotan-Marunda 11,7 Ha dibuat bertanggal mundur (backdate) oleh pegawai PPSJ atas perintah YCP.

Memo intern bertanggal 21 Februari 2019 yang merupakan memo penyampaian laporan gabungan kajian evaluasi proposal penawaran dan hasil survei fisik, kajian analisis pasar pesaing, dan kajian analisis finansial/hitungan kelayakan, secara aktual baru dibuat pada 27 Maret 2019 oleh Maulina Wulansari.

Penanggalan mundur tersebut diduga untuk menjustifikasi atau mendukung keputusan sepihak dan subjektif YCP dalam pembelian tanah dan mengesankan seolah-olah proses investasi atau pengadaan berjalan sesuai prosedur atau ketentuan yang berlaku.

Menurut Asep, penyimpangan dalam proses investasi dan pengadaan lahan Jalan Rorotan-Marunda 11,7 Ha yang dilakukan YCP diduga dipengaruhi dan terkait penerimaan fasilitas dari PT TEP.

"YCP diduga menerima valas dalam denominasi SGD sejumlah Rp3 miliar dari PT Totalindo Eka Persada. Selain itu, saudara YCP juga diketahui mendapatkan fasilitas atau kemudahan dalam penjualan aset milik pribadi yang segera dibeli oleh pegawai PT Totalindo Eka Persada," kata Asep.

Asep menyatakan pembelian aset YCP berupa 1 rumah dan 1 unit apartemen oleh pegawai PT TEP tersebut atas instruksi EKW (Direktur Keuangan PT TEP) dan sumber dana berasal dari kas perusahaan dalam bentuk pinjaman lunak kepada pegawai yang membeli aset tersebut.

"Dari uraian di atas, bisa kita simpulkan terdapat kerugian negara/daerah setidaknya sebesar Rp223 miliar atau tepatnya Rp223.852.761.192 yang diakibatkan penyimpangan dalam proses investasi dan pengadaan tanah oleh Perumda Pembangunan Sarana Jaya pada Tahun 2019-2021," ucap Asep.

Lihat Juga :
KPK Usut Kasus Baru Pengadaan Lahan di Rorotan, 10 Orang Dicegah ke LN

Nilai kerugian negara/daerah tersebut berasal dari nilai pembayaran bersih yang diterima PT TEP dari PPSJ sebesar Rp371 miliar (Rp371.593.267.462,00) dikurangi harga transaksi riil PT TEP dengan pemilik tanah awal (PT NKRE) setelah memperhitungkan biaya terkait lainnya seperti pajak, BPHTB dan biaya notaris sebesar total Rp147.740.506,270.

Atas perbuatannya, YCP dkk disangkakan melanggar Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

(ryn/isn)

Read more